Minggu, 02 April 2017

Charlotte Mason, Pendidik Anak dan Penggagas Home Schooling






Biografi Charlotte Mason.
Dia memakai gaun hitam sederhana yang menjuntai hampir ke lantai dengan rambut tersanggul ke atas, lazimnya guru-guru perempuan lain di Inggris pada era Victoria. Namun, beda dari banyak guru lain, ia tidak pernah membentak murid-muridnya dengan wajah keras dan gigi berkerut-kerut. Beda dari banyak guru lain, ia tidak mengajar karena kesehatannya tidak memungkinkan untuk menekuni profesi lain yang lebih menguntungkan. Beda dari guru-guru lain, tangannya tak pernah sigap meraih tongkat rotan dan memukul anak sesuai buku panduan disiplin sekolah: anak laki-laki dipukul pantat, anak perempuan dipukul tangan atau telapak kaki telanjang. Beda dari banyak guru lain, di kelasnya tidak pernah ada topi kurcaci kerucut dengan tulisan besar-besar TOLOL untuk dipakaikan kepada muridnya yang gagal mengeja tulisan dengan benar.

Charlotte Maria Shaw Mason atau yang sering kita sebut Charlotte Mason memang bukan guru biasa pada zamannya. Ketika para edukasionalis di zamannya menganggap anak seperti ember kosong, yang baru berisi jika dituangi pengetahuan oleh guru, atau ranting pohon yang bisa dibengkak-bengkokkan ke arah mana pun yang dikehendaki guru, atau lilin plastis yang bisa dibentuk sesuka hati para pendidiknya, Charlotte Mason meyakini anak-anak adalah jiwa dengan kedalaman dan kekayaan spiritual yang tidak terbatas, ibarat obor yang sudah penuh minyak, hanya menunggu pantikan api kecil untuk bisa membuatnya menyala berkobar-kobar.
Ketika para filsuf di negerinya berasumsi bahwa jiwa manusia itu tabula rasa, anak-anak ibarat lembaran putih polos yang menunggu untuk ditulisi, Charlotte berkata bahwa sejak semula anak adalah pribadi yang utuh, terlahir lengkap dengan berbagai hasrat, emosi, hati nurani, dan bakat. Pribadi itu akan terus menyingkapkan diri, sampai terungkap sepenuhnya, seturut pertambahan usianya. Orangtua dan guru hanya membantu agar pribadi itu mekar dalam segala kekuatan latennya, mengatasi kelemahan-kelemahan bawaannya.
Ketika masyarakat di eranya menganggap bahwa anak-anak keluarga miskin ditakdirkan menjadi orang berintelek rendah, percuma dididik karena kelak tetap akan menjadi keset sosial dan warga tak beradab; bahwa anak-anak perempuan cukup belajar di rumah saja sebab toh mereka hanya akan menjadi istri dan pengurus rumah tangga, Charlotte justru menyuarakan pendidikan liberal bagi setiap anak tanpa membedakan ras, strata sosial, ataupun gender. Ia yakin setiap anak terlahir setara, oleh karena itu mereka berhak, dan mampu mengenyam kesempatan pendidikan yang setara. Namun untuk menjalani metode pendidikan yang memuaskan anak-anak tercerdas dan menyingkap inteligensi anak-anak terlamban, seorang guru pertama-tama harus yakin bahwa potensi kecerdasan itu memang tersimpan dalam diri semua anak.
Ketika para orangtua kebanyakan memandang anak sebagai harta milik pribadi mereka, dan berpikir bahwa tugas mendidik anak cukup dipasrahkan kepada pengasuh, guru privat, dan lembaga sekolah, Charlotte menegaskan bahwa orangtua tidak boleh dengan seenaknya berkata, Ini kan anakku! Aku bebas mendidiknya dengan cara apa saja!” Anak-anak, menurut Charlotte, adalah kekayaan yang dititipkan Tuhan dan umat manusia kepada orangtua. Ibu dan ayah bertanggung jawab lebih dari siapa pun di bumi ini untuk memastikan bahwa anak-anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Dan pendidikan formal di sekolah bukanlah yang terutama dan utama. Sesungguhnya, kata Charlotte, pendidikan informal di rumah jauh lebih penting ketimbang pendidikan di sekolah, sebab pengaruh yang anak terima di rumah membekaskan kesan mendalam yang akan menentukan karakter dan karirnya kelak. Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.
Ketika para religius meyakinkan orangtua untuk mengandalkan agama dalam membangun karakter dan moral anak-anak mereka, Charlotte dengan berterus terang berkata bahwa tidak cukup membesarkan anak hanya dengan berharap dan berdoa. Agama memang sangat penting dalam memberi inspirasi dan batasan moral, tetapi ada hukum-hukum Tuhan yang berlaku secara universal dalam mengasuh anak. Hukum-hukum fisiologis dan psikologis, seperti bagaimana otak bekerja atau bagaimana proses kejiwaan anak berlangsung, bukan milik eksklusif salah satu agama saja. Tak ubahnya hukum gravitasi, orang yang taat beragama akan merasakan kerugian besar jika melanggar hukum-hukum itu dan, sebaliknya, orang yang sekuler bisa berhasil mendidik anak dengan baik jika menaatinya.
Charlotte Mason lahir di Inggris tahun 1842 dan menikmati pendidikan di rumah dari kedua orangtuanya, sebelum ia menjadi yatim piatu di usia enam belas tahun. Tetapi sebelum tahun yang menyedihkan itu, Charlotte muda sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di bidang pendidikan. Seorang perempuan progresif yang banyak berpikir, ia bekerja sambil merenung, membaca untuk menulis, menguji teori-teori di dalam praktek. Yang Charlotte cita-citakan adalah a working philosophy of education, filsafat pendidikan yang bukan cuma bagus dalam teori, tapi betul-betul bisa dipraktekkan dan betul-betul efektif menyingkapkan segenap potensi fisik, intelektual, mental, dan spiritual semua anak. Motto hidup Charlotte adalah: For the childrens sake, semua demi anak-anak.
Dalam lima belas tahun karirnya sebagai guru di sekolah dasar lalu dosen di kolese pendidikan guru, Charlotte telah menyusun konsep-konsep pendidikannya sendiri, yang kemudian ia terbitkan dalam enam volume: Home Education, Parents and Children, School Education, Ourselves, Formation of Character, dan Towards A Philosophy of Education. Sejak volume pertama terbit, Home Education menguraikan prinsip-prinsip dasar mengasuh dan mendidik anak sampai dengan usia sembilan tahun, buah pemikiran Charlotte sudah disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Inggris. Mereka ingin ide-ide Charlotte dipraktekkan lebih meluas di seluruh Inggris. Tak lama kemudian, para simpatisan itu bergerak membentuk Parents Educational Union (kemudian berubah nama menjadi Parents National Educational Union/ PNEU) yang bermisi melaksanakan filsafat dan metode pendidikan Charlotte Mason. Mencerminkan jiwa dari karya Charlotte, dalam anggaran dasar pendiriannya, disebutkan bahwa Persatuan ini hadir demi [memberi manfaat kepada] para orangtua dan pendidik dari semua kelas [sosial].
Tahun 1891, Charlotte pindah ke Ambleside untuk mendirikan House of Education, lembaga pendidikan-pelatihan bagi governess (guru privat) dan siapa saja yang berminat bekerja di sektor pendidikan. Satu tahun kemudian, PNEU juga mendirikan sekolah mereka sendiri di Ambleside sebagai wadah para trainee House of Education untuk mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari dari Charlotte Mason. Dengan gaya belajar yang ramah anak: jam belajar singkat, tanpa drill atau hafalan garing, mata pelajaran bervariasi, tidak ada PR, tidak ada sistem ranking, banyak kegiatan eksperimentatif (hands on) serta apresiasi seni dan budaya, jadwal teratur setiap siang sampai sore untuk menjelajah alam dan bermain bebas, ini adalah metode pendidikan yang jauh berbeda dari kebanyakan sekolah masa itu.
Mengingat banyaknya keluarga Inggris yang terlalu miskin untuk membayar governess atau berdomisili di daerah yang belum memiliki sekolah, Charlotte memprakarsai sistem pendidikan rumah dengan model korespondensi. Keluarga-keluarga ini bisa mendaftarkan anak-anak mereka untuk menjadi siswa jarak jauh. PNEU mengirimkan kurikulum, petunjuk proses belajar, dan buku-buku bacaan untuk anak pelajari bersama orangtua di rumah masing-masing. Kemudian di akhir term belajar, PNEU akan mengirimkan berkas evaluasi yang meminta anak menarasikan apa yang mereka pelajari selama term tersebut. Tidak ada nilai, tidak ada peringkat, semua narasi akan dibaca dan diberi catatan komentar, lalu anak bisa melanjutkan ke bahan pelajaran term berikutnya. Materi belajar adalah buku-buku terbaik dari para penulis dan sastrawan paling hebat yang bisa Charlotte temukan, diberikan sesuai tingkat usia para pelajarnya, yang selalu disegarkan dan dimutakhirkan dari term ke term.
Hasil dari sistem pendidikan jarak jauh yang ia susun mengejutkan bahkan Charlotte sendiri! Para siswa koresponden, yang meliputi anak-anak buruh tambang di daerah pelosok, menunjukkan kemampuan luar biasa untuk memusatkan perhatian, kecintaan pada proses belajar, ketajaman berpikir, kegembiraan membaca buku-buku kelas tinggi, dan pengetahuan yang luas akan berbagai hal. Mereka sanggup menarasikan kembali suatu bacaan hanya dengan sekali dibacakan, bahkan berbulan-bulan setelah bahan itu dibacakan.
Ternyata benar, tulis Charlotte, jiwa semua anak apa pun ras, strata sosial, dan gendernya selalu sedang menunggu untuk digugah. Dan sekali tergugah, mereka akan selamanya terbangun untuk mencintai pengetahuan dan kehidupan. Anak-anak yang seumur hidup mencintai proses belajar, yang belajar bukan demi imbalan pujian, gengsi, atau keuntungan material lainnya, melainkan terutama karena kegembiraan dalam belajar itu sendiri, yang tumbuh menjadi pribadi berwawasan luas penuh ide-ide akbar dengan karakter luhur yang berangkat dari tertanamnya kebiasaan-kebiasaan baik, tidakkah itu yang seharusnya dicita-citakan oleh sistem pendidikan? Visi itu hanya bisa digapai jika sistem pendidikan ditegakkan di atas asumsi-asumsi dan konsep-konsep yang benar, lalu dibangun dengan metode yang tepat. Konsekuensi dari kebenaran itu terlalu besar, kita tidak boleh lalai menimbangnya, berulang-ulang Charlotte mengingatkan tentang itu.
Dalam volume bukunya yang terakhir, Charlotte merangkum semua pemikiran yang telah ia rumuskan, uji, dan perbaiki selama 30 tahun PNEU berdiri. Dengan puas ia melaporkan hasil metode pendidikannya yang berhasil membangkitkan kecintaan belajar dalam diri puluhan ribu siswanya. Ia telah membuktikan bahwa anak-anak memang terlahir setara dalam hasrat mereka akan pengetahuan, tiada beda antara anak laki-laki dan perempuan, antara anak-anak kaya atau miskin, antara anak-anak cerdas atau terbelakang. Sekalipun ia juga sadar, teori-teorinya masih perlu diuji coba dalam skala yang lebih luas, ia merasa akhirnya ia berhasil merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang membumi, satu model pendidikan yang bisa memuliakan pikiran semua anak tanpa mengabaikan latihan jasmani maupun keterampilan praktis.
Charlotte Mason meninggal dalam tidurnya pada usia 81 tahun, dalam kondisi ingatan yang masih jernih, kemampuan berpikir yang masih tajam, dan hati yang tak pernah berhenti menawarkan kebijaksanaan dan kasih sayang. Ia sangat dicintai dan kepergiannya adalah kehilangan besar bagi banyak orang. Sebuah buku, In Memoriam of Charlotte M. Mason, dipersembahkan oleh para kolega dan muridnya untuk mengenang sesosok pribadi yang mengesankan ini. Anak-anak dari banyak generasi akan berterima kasih kepada Tuhan untuk Charlotte Mason dan semua karyanya, tulis salah satu dari mereka.

Pikiran dan Kebiasaan
Sangat menakjubkan saat melihat sebuah gagasan berkembang dan masak sampai berbuah, seperti sebuah inspirasi yang menjadi sebuah novel yang seolah-olah menulis dirinya sendiri. Si penulis mungkin bahkan tidak tahu dari mana gagasan itu berasal. Dan tidak semua gagasan sebegitu menginspirasi – juga gagasan-gagasan buruk masuk ke dalam pikiran sama mudahnya seperti yang bajik dan juga bisa berkembang sampai berbuah. Di sinilah kebiasaan bekerja pula – kita cenderung berpikir sepanjang jalur-jalur pikiran yang biasa kita tempuh.
Kita orang dewasa barangkali bisa memperkirakan arah gerbong pikiran yang lewat di benak kita lantas menghentikannya supaya tidak melaju lebih lanjut, tapi seorang anak belum terampil melakukan ini seketika. “Ia bergantung kepada orangtuanya; orangtualah yang berperan memantik pikiran-pikirannya, hasrat-hasrat yang akan ia pupuk, perasaan-perasaan yang akan ia ijinkan.” Namun sekali orangtua memantik semua itu, pikiran-pikiran tersebut akan terus hidup dalam bilik-bilik hati dalam benak si anak.
Sebagaimana kita semua adalah makhluk yang terbentuk oleh kebiasaan, orangtualah yang berperan besar menumbuhkan dalam diri anaknya kebiasaan untuk memikirkan hal-hal yang berharga, sehingga akan lebih sulit bagi si anak untuk mengubah kebiasaan itu menjadi kebiasaan berpikir jahat, dan kebiasaan-kebiasaan memikirkan hal yang baik ini bisa menjadi karakter anak. Charlotte mengumpamakan latihan ini seperti memasang rel-rel sebagai jalur kereta api dalam benak seorang anak, rel-rel yang akan menjadi jalur tempuh lokomotif dan gerbong-gerbong pikirannya.
Namun jika orangtualah yang memasang rel-rel kebiasaan berpikir dan bertindak dalam diri si anak, dan kebiasaan akan menjadi karakternya, tidakkah itu sama dengan merebut kebebasan berkehendak si anak? Tidak juga, sebab kebiasaan tetap akan memandu sebagian besar kehidupan si anak, entah kebiasaan itu sesuatu yang anak peroleh secara kebetulan (meniru teman sebayanya dan orang-orang di sekitarnya – Mod.) ataupun dilatihkan secara terencana oleh orangtua.

Cinta Yang Berpikir; Sebuah Manual Pemikiran Pendidikan Charlotte Mason
Berbicara mengenai pendidikan berbasis karakter, salah satu pemikiran pendidik Inggris terkemuka Charlotte Mason merumuskan tentang pendidikan menyeluruh berbasis karakter yang tak lekang dimakan zaman, baik yang filosofis maupun praktis. Namun tidak serta merta kita bisa menyamakan atau mengatakan bahwa konsep kurikulum kita, secara filosofis dan praktik, dapat disamakan dengan konsep pendidikan ala Charlotte Mason. Karena keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.
Bagi Masson, setiap anak lahir dengan kecerdasan, bakat tertentu, maka anak tak mampu disamaratakan. Ibaratnya, ikan selamanya tak akan mampu memanjat pohon, dan monyet selamanya tak akan mampu berenang. Ikan mempunyai sifat dan bawaan sejak lahir (fisik dan psikis) yang membentuknya menjadi hewan yang akan memiliki kemampuan untuk berenang, bukan kemampuan terbang atau memanjat pohon. Hal ini berbeda pula dengan hewan-hewan lain, yang juga berbeda bawaan lahir yang dibawa. Logika tersebut, membuat Charlotte Mason menyangkal teori yang mengatakan bahwa “Anak yang lahir di dunia ini ibarat kertas putih yang bisa dilukis dan dimanipulasi agar menjadi yang orang tua inginkan”.
Masson berfikir bahwa tujuan dari pendidikan itu mematangkan watak atau karakter yang telah anak bawa sejak lahir. Dalam mencapai tujuan tersebut Charlotte Masson menjadikan pendidikan harus memiliki karakter-karakter berikut:
Living of all posibilities, pendamping/pendidik menempatkan setiap anak adalah individu yang berbeda “every child is person”. Hargailah anak sebagai “person” sesuatu yang tak ada duplikatnya. Bukan produk pasaran atau angka dalam statistik. Anak sebagai “pribadi misterius”, yang bisa digali hingga ke akar-akarnya, potensinya tak terbatas, Jangan sampai anak dijadikan sebagai komoditi, diperdagangkan, hanya memenuhi pesanan pasar, atau hanya dicetak serupa secara massal oleh lembaga bernama “sekolah” dan sekedar memboyong ijazah dan toga.
Pendidik harus punya visi pendidikan, Anak bisa potensi untuk baik dan bisa berpotensi untuk buruk, tergantung pendampingannya. Pendidik jangan sampai hanya sekedar masuk kelas sebagai upaya dalam menggugurkan kewajiban profesi, terjebak oleh sistem dan rutinitas. Sifat dasar anak adalah belajar/hasrat untuk belajar. Namun kenapa anak bahagia kalau jam kosong? Anak gembira seakan keluar dari penjara. Ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan sistem. Dalam hal ini pendidik harus mengusung visi pendidikan yang mampu mengarahkan anak untuk memenuhi sifat dasarnya, hasrat untuk belajar. Tak ada kriteria penilaian serta tak ada kompetisi. Pemberian reward atau punishment juga (termasuk di dalamnya nilai, hadiah) malah mematikan ghiroh belajar anak. Maka anak diorientasikan dalam hal berikut:
Ditempatkan pada atmosfir inspiratif. Temukanlah anak dengan figur-figur inspiratif. Perlu menciptakan atmosfer dimana disitu terdapat orang-orang yang optimis dengan kehidupan. Anak-anak tak mungkin terispirasi dengan pendidik yang hanya tersekat oleh teori-teori, tapi tak mampu memgimplementasikan hingga mengelaborasinya dalam kehidupan. Dengan harapan agar selaras antara nilai (kualitatif/ideologis bukan nilai kuantitatif) yang dianut dan lakunya. Hadirnya anak-anak membuat pendewasaan diri pendidik, serta sebagai refleksi diri.
Penanaman kedisiplinan. Ini hanya bisa dicapai lewat penanaman essensi disiplin serta kebiasaan, tentunya melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik. Respect pada otoritas bukan otoriter.
Life. Makanan buat pikiran adalah ide. Pikiran anak harus selalu mendapatkan asupan ide variatif. Asupan satu macam ide akan mengkerdilkan pikiran. Asupan yang variatif itu dapat diperoleh dengan short lesson, pelajaran dengan durasi singkat namun bersifat multiplisitas. Asupan tersebut dapat diperoleh dari living book, buku yang hidup, bermutu. Living book akan membuat berkesan, membangkitkan pikiran, tak terlupakan, dan tentunya sangat berbeda dengan LKS. Anak harus memiliki ide setinggi langit, namun walaupun idenya besar tetap pekerjaan-pekerjaan remeh dalam kehidupan sehari-hari harus bisa teratasi juga.
Teknik narasi, menjadi salah satu yang bisa dikatakan penting dalam metode pendidikan Charlotte Masson. Teknik ini dimulai dengan membaca lalu mengutarakan maksud, guru tak boleh menggiring atau mengotori pemikiran anak, membiarkan anak menafsirkan teks yang ia baca. Guru tak menilai tafsiran atau pendapat dari tiap anak, ataupun tak lengkap dalam menarasikan namun yang penting adalah kesiapan anak, serta lebih menekankan aspek afektif ketimbang kognisi. Namun tentu saja metode ini tak bisa diterapkan disemua materi, terutama materi eksak (fisika, matematika, kimia, dll).
Terakhir, Uang, harta benda, dll bisa dicari, tapi waktu sekali lewat tidak bisa diulang. Dont waste your time or time waste you (jangan menyia-nyiakan waktu atau waktu akan menyia-nyiakanmu). Serta tanamkan selalu “nilai yg paling penting, untuk apa semua yang kamu punya akan diabdikan”.
Cita-cita mulia seorang Charlotte Mason adalah anak-anak bisa terdidik dengan pendidikan sebaik-baiknya, pendidikan yang mempunyai filosofi kuat, mengakar pada diri dan karakter anak-anak, bisa dipraktekkan dan mengoptimalkan segenap potensi fisik, intelektual, mental, dan spiritual setiap anak, juga memastikan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang membawa kebaikan pada masyarakat. Ia menganggap pendidikan terbaik adalah pendidikan di rumah, karena pengaruh dari rumahlah yang akan memberikan kesan mendalam pada diri anak yang akan menentukan karakter dan karirnya kelak.
Gaya belajar yang digaung-gaungkan oleh Charlotte adalah seperti ini:
1.jam belajar singkat (hanya 2,5 jam untuk anak kelas 1-3 sd, tapi mencakup materi-materi utama)
2.menggunakan materi berkualitas yang disebut living books
3.tanpa lembar kerja dan hafalan-hafalan
4.mata pelajaran bervariasi
5.tidak ada PR
6.tidak ada ranking
7.banyak praktek (hand on)
8.ada apresiasi seni
9.jadwal tetap di siang sampai sore untuk menjelajah alam dan bermain bebas
Hasil dari pembelajaran ala Charlotte Mason yang sudah ia buktikan dan lihat sendiri adalah anak-anak menunjukkan kemampuan luar biasa untuk memusatkan perhatian, cinta pada proses belajar, berpikir tajam, senang sekali membaca buku-buku 'kelas tinggi', dan pengetahuan yang luas. Bahkan anak-anak itu mampu menceritakan kembali (menarasikan, metode paling utama dalam CM ini) suatu bacaan hanya dengan sekali dibacakan, bahkan berbulan-bulan setelah bahan itu dibacakan!
Jiwa seorang anak itu selalu menunggu untuk digugah, dan sekalinya tergugah, itu akan selamanya terbangun untuk mencintai pengetahuan dan kehidupan, dan pada akhirnya seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berwawasan luas penuh ide-ide brilian dengan karakter luhur yang berangkat dari tertanamnya kebiasaan-kebiasaan baik.
Modal awal untuk menjadi orangtua yang baik adalah rasa cinta mendalam kepada anak-anak. Tetapi cinta saja ternyata tidak cukup. Kita butuh a thinking love, cinta yang dilengkapi dengan pengetahuan dan perenungan. Buku ini menyajikan pokok-pokok pemikiran pendidik Inggris terkemuka Charlotte Mason tentang pendidikan menyeluruh berbasis karakter yang tak lekang dimakan zaman, baik yang filosofis maupun praktis. Di dalamnya Anda akan diajak berpikir antara lain tentang:
1.Bekal pengetahuan apa saja yang perlu dimiliki orangtua untuk mengasuh anak?
2.Bagaimana menyeimbangkan antara otoritas orangtua dan kebebasan anak?
3.Apa arti penting dan bagaimana caranya menyusun filosofi pendidikan keluarga?
4.Bagaimana membangun karakter anak lewat latihan kebiasaan-kebiasaan baik (habit training) dan buku-buku berkualitas (living books)?
5.Bagaimana menyusun kurikulum yang kaya ide sekaligus ramah anak?
6.Bagaimana belajar membaca, menulis, matematika, bahasa dan sastra, sains, geografi secara efektif dan bermakna?
7.Apa keunikan metode ini dibandingkan metode klasik, unschooling, Montessori, unit studies, atau Waldorf?
Pertanyaan-pertanyaan umum yang sangat relevan kan? idak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan home-schooling. Dari situ saya memutuskan untuk memesan buku ini. Buat saya pribadi, point yang paling menarik terutama yang saya bold di atas (kalo yang udah baca postingan-postingan saya sebelumnya pasti tahu kenapa :mrgreen:). Tapi poin terakhir itu sebenarnya juga menarik perhatian saya, karena kebetulan saya baru saja menggali informasi mengenai Montessori dan setelah membaca berbagai info, saya pribadi kurang sreg dengan metode Montessori
… Pendidikan Charlotte Mason bertumpu pada keyakinan bahwa pada hakikatnya anak bukanlah aset pribadi orangtua. Anak-anak itu hanya titipan. Pertama-tama, titipan dari Tuhan. Kedua, titipan dari umat manusia, khususnya bangsa dan negara …
Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang/guru/pendidik, Charlotte menyakini bahwa anak terlahir sebagai satu pribadi utuh:
Ketika para edukasionalis di jamannya menganggap anak seperti ember kosong, yang baru berisi jika dituangi pengetahuan oleh guru, atau ranting pohon yang bisa dibengkak-bengkokkan ke arah mana pun guru mau, atau lilin plastis yang bisa dibentuk sesuka hati para pendidiknya, Charlotte meyakini anak-anak adalah jiwa dengan kedalaman dan kekayaan spiritual tak terbatas, ibarat obor yang sudah penuh minyak, hanya menunggu pantikan api kecil untuk bisa menyala berkobar-kobar.

Referensi Homeschooling dan Sekolah Charlotte Mason
Mbak Ellen Kristi, penulis buku tentang Charlotte Mason ini adalah seorang penulis yang kompeten dan kredibel tentang home schooling, sekolah, dan Charlotte Mason. Beliau seorang dosen filsafat Undip Semarang, praktisi home schooling, memiliki passion yang besar terhadap pemikiran-pemikiran Charlotte Mason.
Selain aktif melakukan studi tentang Charlotte Mason, mbak Ellen aktif berbagi tentang pemikiran Charlotte Mason. Beliau mendirikan milis Ngobrolin-CM, membuat grup Charlotte Mason di Facebook dan membuat situs Pustaka Charlotte Mason Indonesia.
Pendidikan adalah Atmosfir, Disiplin dan Kehidupan
Ada tiga hal yang menurut Charlotte Mason menjadi esensi pendidikan dan parenting, yaitu atmosfir, disiplin dan kehidupan.
1.Pendidikan adalah atmosfir, berarti anak-anak belajar melalui hal-hal nyata di dunia nyata. Tugas orangtua (dan guru) adalah menyediakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak agar tumbuh dan berkembang potensinya.
2.Pendidikan adalah disiplin, berarti orangtua perlu melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik secara terencana, teratur, dan bertujuan, baik kebiasaan mental dalam pikiran maupun tubuh, sesuai dengan hukum-hukum fisiologis.
3.Pendidikan adalah hidup, berarti pendidikan harus mengurusi baik tubuh, jiwa, maupun ruh anak. Akal budi butuh nutrisi berupa ide-ide yang segar dan besar, yang mampu menjadi api yang membakar sumbu potensi yang dimilik anak.
Itu sebagian materi yang ada di dalam buku “Cinta yang Berpikir” ini. Selain itu, banyak aspek pemikiran Charlotte Mason yang dieksplorasi, langkah-langkah praktis menggunakan CM dalam keseharian; juga perbandingan antara CM dengan filosofi pendidikan lainnya seperti Unit Studies, Unschooling, Classical, Montessori, dan Waldorf.
Walaupun keluarga kami lebih cenderung pada Unschooling dalam pelaksanaan homeschooling kami, aku merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Buku ini cocok untuk keluarga-keluarga yang akan memulai homeschooling, juga para pendidik yang ingin mengeksplorasi model pendidikan yang berbeda daripada yang ada pada saat ini.
Aku merekomendasikan buku ini untuk orangtua sebagai wawasan parenting, baik yang anaknya homeschooling maupun sekolah. Selain memberikan sudut pandang konseptual yang menarik dan mencerahkan, buku ini juga berisi hal-hal praktis tentang cara mengimplementasikan gagasan CM.
Sebagaimana kata-kata mbak Tiurnida Silvia Pohan dalam testimoninya, “Pemikiran Charlotte Mason ibarat makanan bagi pikiran yang mengandung gizi ‘komplit’, terlalu berharga untuk tidak dikunyah dan dicerna.”

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN CHARLOTTE MASON
Pendidikan Membebaskan
Di era Victoria, masyarakat Inggris sangat tersekat oleh kelas-kelas sosial. Hanya anak-anak dari keluarga kaya yang berkesempatan mencicipi pendidikan dan kehidupan yang berbudaya, sementara anak-anak miskin dipandang rendah dalam martabat maupun kapasitas -- dalam istilah Jawa: bibit, bebet, bobot. Diskriminasi juga berlaku dalam hal gender; hak untuk pendidikan tinggi hanya untuk anak laki-laki. Anak perempuan cukup belajar keterampilan rumah tangga saja karena kelak ia 'hanya' akan menjadi ibu. Charlotte menolak semua diskriminasi itu. Baginya semua anak sama-sama mampu dan berhak untuk mengenyam pendidikan sebaik mungkin. Lewat metode pendidikannya, ia membuktikan bahwa jika prinsip-prinsip pendidikan yang benar dijalankan, "anak yang cerdas akan dipuaskan, dan anak yang lamban dicerdaskan".
Karakter sebagai Tujuan
Seorang anak harus dibesarkan bukan cuma untuk menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri atau keluarganya, tapi juga bagi bangsanya, umat manusia, serta Tuhan. Oleh karena itu, urusan pendidikan bagi Charlotte bukan cuma soal mata pelajaran verbal-matematis atau keterampilan untuk mencari nafkah. Tujuan utama pendidikan adalah pembangunan karakter yang luhur dalam diri anak. "Bakat, IQ, kejeniusan, banyak terkait faktor genetik; namun karakter adalah prestasi, suatu pencapaian nyata yang terbuka kemungkinannya bagi siapa saja, baik bagi kita orang dewasa maupun bagi anak-anak kita; dan kehebatan sejati dalam sebuah keluarga atau seorang individu dinilai dari karakternya. Orang-orang besar kita anggap besar semata-mata karena kekuatan karakter mereka." (Charlotte Mason, vol. 2 p. 72)

Buku-buku Berkualitas (living books)
Charlotte mengibaratkan pikiran anak ibarat tubuh jasmani yang perlu makanan yang bergizi. Gizi itu adalah ide-ide inspiratif -- “pikiran-pikiran akbar, peristiwa-peristiwa akbar, perenungan-perenungan akbar” (Vol. 6 h. 5) yang membentuk bangsa dan dunia kita -- yang ditransfer "dari pikiran ke pikiran" terutama lewat buku-buku. Maka, Charlotte tak pernah lelah menekankan pentingnya menyajikan buku-buku terbaik sebagai materi pelajaran anak: ditulis langsung oleh si pemikir, tidak diringkas menjadi buku teks atau lembar kerja siswa yang garing; ide itu musti dibaca secara utuh, bukan hanya dicuplik sana sini dan diberikan kepada anak secara sepotong-sepotong.

Kurikulum yang Kaya (generous curriculum)
Selain bergizi, nutrisi pikiran perlu bervariasi. Setiap anak itu unik, kita tidak pernah tahu ide mana yang membangkitkan minatnya, maka kita musti menyediakan kurikulum yang sekaya mungkin. Sastra, puisi, sejarah, geografi, sains, agama, bahasa asing, matematika, hasta karya, pertukangan, studi karya seni -- daftar ini masih berlanjut jika kita ingin menyebut semua mata pelajaran yang terdaftar dalam kurikulum sekolah Charlotte, dan materinya haruslah karya-karya terbaik yang mungkin diperoleh untuk subjek itu.

Durasi Belajar Pendek (short lessons)
Jam belajar di sekolah Charlotte untuk usia sekolah dasar kurang lebih 3-4 jam sehari, dimulai jam 9 dan diakhiri pada jam makan siang. Bagaimana mungkin mempelajari begitu banyak subjek dalam waktu begitu singkat? Kuncinya adalah prinsip durasi belajar yang pendek. Charlotte sangat memahami tahap perkembangan anak yang belum mampu mempertahankan atensi dalam waktu lama. Daripada belajar lama-lama tapi pikiran anak melayang ke mana-mana, lebih efektif belajar dalam waktu singkat tapi anak diajari berkonsentrasi penuh. Pada usia sekolah dasar, Charlotte hanya merekomendasikan 10-20 menit untuk satu pelajaran.

Narasi
Charlotte menganggap teknik terbaik untuk mengevaluasi seberapa banyak pengetahuan yang bisa anak serap dari materi pelajarannya adalah narasi, bukan soal pilihan ganda, "isilah titik-titik di bawah ini", dan tes-tes komprehensi semacamnya. Narasi berarti meminta anak menceritakan kembali apa yang ia tangkap dari bahan bacaannya. Dengan membuat narasi, anak melatih semua keterampilan intelektualnya sekaligus -- memori, imajinasi, daya nalar, retorika.

Tidak Ada Kompetisi
Motivasi anak untuk belajar semestinya berasal dari rasa ingin tahu yang secara alamiah tertanam dalam dirinya sejak lahir. Charlotte menolak segala macam pemeringkatan, pemberian hadiah-hadiah, dan motivasi lain yang bersifat kompetitif karena itu akan membuat anak tergantung kepada dorongan eksternal dan akhirnya menggantikan, atau bahkan mematikan, kecintaan belajarnya yang alami.

Tidak Ada PR
Bermain, kata Charlotte, harus dipandang sama pentingnya dengan belajar. Hidup anak tidak boleh terlalu tersita oleh pelajaran akademis. Waktu dari pagi hari setelah sarapan sampai jam makan siang sudah cukup untuk menggarap subjek-subjek intelektual yang menguras mental. Setelah itu biarkan anak bermain bebas, berjalan-jalan di alam terbuka, dan menggarap proyek-proyek lain yang ia sukai. Maka, sekolah Charlotte tidak pernah memberikan PR kepada para siswanya.

Cara Belajar Siswa Aktif
Charlotte menganut hukum emas Comenius, "Hendaknya guru mengajar lebih sedikit supaya siswa belajar lebih banyak". Bolak-balik dalam tulisannya ia mengingatkan para pendidik untuk tidak mengambil alih peran anak dalam mencerna pelajaran. Biarlah anak belajar langsung dari para pemikir besar dalam buku-buku yang ia baca, lalu menyimpulkan sendiri makna dan pesan moral yang tersimpan di dalam buku-buku itu. Metode ini melepaskan beban mengajar dari pundak guru, sekaligus mengkondisikan anak menjadi pembelajar mandiri dengan kekuatan mental yang semakin bertambah karena terus dilatih menyerap sendiri pengetahuan.

Akrab dengan Alam (outdoor life & nature study)
Khususnya pada enam sampai tujuh tahun pertama usianya, Charlotte berharap agar anak-anak dibiarkan untuk menjelajah dunia sebebas mungkin. Orangtua tidak perlu membebani mereka dengan pelajaran formal seperti belajar membaca, menulis, atau berhitung. Pada usia emas ini, urusan anak adalah menjelajah alam semesta dan isinya (nature study). Salah satu saran Charlotte bagi anak-anak usia dini – yang barangkali terasa nyeleneh di era digital ini – adalah supaya mereka banyak-banyak menghabiskan waktu bermain dan menjelajah di alam terbuka (out-of-door life). Tidak hanya 1-2 jam, Charlotte menyebutkan target ideal 4-6 jam dalam sehari! Nantinya ketika pelajaran akademis telah dimulai, kegiatan di luar ruangan dan nature study ini lebih diarahkan untuk mengembangkan kebiasaan ilmiah anak: daya perhatian, kecermatan observasi, kebiasaan mencatat dengan teliti apa yang diamati di alam, dan seterusnya.

Habit Training dan Keteladanan
Satu hal yang membuat saya terpikat begitu mengenal metode Charlotte Mason adalah konsepnya tentang habit training sebagai teknik praktis pendidikan karakter. Education is a discipline, kata Charlotte. Disiplin itu berarti orangtua secara terencana dan sistematis melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik ke dalam kehidupan sehari-hari anak. Seorang anak yang telah terbiasa memikirkan perkara-perkara mulia dan luhur, sampai kebiasaan itu terbentuk sebagai karakternya, akan lebih sulit mengubah dirinya menjadi pribadi yang suka berpikir jahat. Charlotte mengumpamakan habit training ini seperti proses memasang rel-rel kereta api. Sudahkah orangtua secara serius memikirkan jalur mana yang musti ditempuh anak agar gerbong-gerbong kehidupannya bisa sampai ke stasiun tujuan? Maka ke sanalah sepatutnya mereka secara konsisten memasang lintasan-lintasan yang nyaman untuk dilewati agar “si pelancong kecil bisa melaju dengan kecepatan penuh”. Yang tak kalah penting adalah prinsip Education is an atmosphere, anak menyerap pengaruh lingkungan sama seperti ia menghirup udara untuk bernafas, maka orangtua dan guru musti bertindak selaras dengan perannya sebagai pemberi inspirasi bagi anak-anak. Seperti kata Naomi Aldort, raising children is raising ourselves, mendidik anak-anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri.

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar